Radio Muslim

Selasa, 07 September 2010

KEY for Tadabur Al-Qur'an

Bermakna perenungan dan pencermatan ayat-ayat Al-Qur’an untuk tujuan dipahami, diketahui makna-maknanya, hikmah-hikmah serta maksudnya.
Tanda-tanda Tadabbur Al-Qur’an:
1.Menyatukan hati dan pikiran ketika membaca Al-Qur’an. Hal ini dibuktikan dengan berhenti di setiap ayat karena ketakjuban dan pengagungan.
2.Menangis karena takut kepada Allah.
3.Bertambah kekhusyukan.
4.Bertambah iman. Bisa diketahui lewat pengulangan ayat-ayat secara spontan.
5.Merasa bahagia dan gembira.
6.Gemetar karena rasa takut kepada Allah Ta’ala kemudian diikuti dengan pengharapan dan ketenangan.
7.Bersujud sebagai bentuk pengagungan terhadap Allah.
Tanda-tanda kecintaan hati pada Al-Qur’an:
1.Senang ketika bertemu dengannya.
2.Duduk bersamanya dalam waktu yang cukup lama tanpa merasa jenuh.
3.Rindu dan sangat berharap untuk bertemu dengannya.
4.Sering berdialog dengannya, percaya dengan arahannya dalam pemecahan masalah.
5.Ta’at kepadanya, walau dalam hal perintah maupun larangan.
Kunci-kunci tadabbur Al-Qur’an didapat dengan cara:
1Hati, hati adalah alat untuk memahami Al-Qur’an, sedangkan hati berada di tangan Allah Ta’ala yang dibolak-balikkan sesuai kehendak-Nya. Seseorang sangat butuh kepada Rabbnya untuk dibukakan hatinya guna memahami Al-Qur’an.
2Tujuan dan urgensi, yaitu:
• untuk memperoleh ilmu
• mengamalkannya, yaitu membaca Al-Qur’an dengan niat mengamalkannya, dengan niat mencari ilmu untuk diamalkan. Al Hasan bin Ali berkata, “Bacalah Al-Qur’an sehingga bisa mencegahmu (melakukan dosa). Bila belum demikian maka (pada hakikatnya), Anda belum membacanya.”
• bermunajat kepada Allah mengandung faedah bahwa Allah mencintaimu (ketika membaca Al-Qur’an), Allah melihatmu, mendengarmu, memujimu, dan memberimu pahala
• Mengharap pahala, yaitu di setiap huruf yang dibaca walau terbata-bata
• berobat dengannya, yaitu obat untuk rohani (maknawi nafsu) dan jasmani.
3Membaca Al-Qur’an ketika shalat.
4Membacanya ketika malam (qiyamul lail), yakni di saat hening dan bisa konsentrasi.
5Satu pekan, hendaklah mengkhatamkan bacaannya.
6Dengan hapalan, yaitu menggunakannya disaat shalat.
7Mengulang-ngulannya hingga hapalan menjadi mantap.
8Mengaitkan, yaitu antara Al-Qur’an dan realita harian.
9Membacanya dengan tartil, dan tidak tergesa-gesa dan memahaminya.
10Keras, keras dalam membacanya untuk menambah konsentrasi sehingga memperoleh dua sisi, yaitu bentuk dan suara. Namun jangan terlalu keras sehingga mengganggu orang lain.
Sumber: “Kunci-Kunci Tadabbur Al-Qur’an”, Dr. Khalid bin Abdul Karim Al-Laahim, Pustaka An-Naba’
Apa saja ibadah yang dibolehkan bagi wanita di kala haidh? Ada penjelasan amat bagus dari seorang ulama besar saat ini, Syaikh Kholid Al Mushlih, murid senior Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah.
Syaikh Kholid bin ‘Abdillah Al Mushlih hafizhohullah menerangkan:
Haidh dan nifas adalah suatu ketetapan Allah bagi kaum hawa karena ada hikmah dan rahmat di balik itu semua. Para ulama telah sepakat (baca: ijma’) bahwa wanita haidh dan nifas dilarang melakukan shalat yang wajib maupun yang sunnah, serta tidak perlu mengqodho’ (mengganti) shalatnya. Begitu pula para ulama sepakat bahwa wanita haidh dan nifas dilarang berpuasa yang wajib maupun yang sunnah selama masa haidhnya. Namun mereka wajib mengqodho’ puasanya tersebut. Para ulama pun sepakat bahwa wanita haidh dan nifas boleh untuk berdzikir dengan bacaan tasbih (subhanallah), tahlil (laa ilaha illallah), dan dzikir lainnya. Adapun membaca Al Qur’an tentang bolehnya bagi wanita haidh dan nifas terdapat perselisihan pendapat. Yang tepat dalam hal ini, tidak mengapa wanita haidh dan nifas membaca Al Qur’an sebagaimana akan datang penjelasannya. Begitu pula tidak mengapa wanita haidh dan nifas melakukan amalan sholih lainnya selain yang telah kami sebutkan ditambah thowaf.
Dalam riwayat Bukhari (294) dan Muslim (1211) dari jalur ‘Abdurrahman bin Al Qosim, dari Al Qosim bin Muhammad, dari ‘Aisyah, ia berkata, “Aku pernah keluar, aku tidak ingin melakukan kecuali haji. Namun ketika itu aku mendapati haidh. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akhirnya mendatangiku sedangkan aku dalam keadaan menangis. Belia berkata, “Apa engkau mendapati haidh?” Aku menjawab, “Iya.” Beliau bersabda, “Ini sudah jadi ketetapan Allah bagi kaum hawa. Lakukanlah segala sesuatu sebagaimana yang dilakukan orang yang berhaji kecuali thowaf keliling Ka’bah.”
Dari sini maka hendaklah laki-laki dan perempuan bersemangat untuk melakukan berbagai kebaikan. Tidak sepantasnya melarang wanita di masa haidh dan nifasnya dari berbagai kebaikan lainnya karena ini merupakan tipu daya syaithon. Mereka hanya terlarang melakukan shalat, puasa, dan thowaf, sedangkan yang lainnya mereka boleh menyibukkan diri dengannya.
Adapun khusus untuk membaca Al Qur’an bagi wanita haidh, maka di sini terdapat perselisihan di kalangan para ulama rahimahullah. Ada tiga pendapat dalam masalah ini:
Pendapat pertama: Bolehnya membaca Al Qur’an bagi wanita haidh dan nifas, asalkan tidak menyentuh mushaf Al Qur’an. Inilah pendapat dari Imam Malik, juga salah satu pendapat dari Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad. Pendapat ini juga dipilih oleh Imam Al Bukhari, Daud Azh Zhohiri, dan Ibnu Hazm.
Pendapat kedua: Bolehnya membaca sebagian Al Qur’an, satu atau dua ayat, bagi wanita haidh dan nifas. Ada yang menyebutkan bahwa tidak terlarang membaca Al Qur’an kurang dari satu ayat.
Pendapat ketiga: Diharamkan membaca Al Qur’ab bagi wanita haidh dan nifas walaupun hanya sebagian saja. Inilah pendapat mayoritas ulama, yakni ulama Hanafiyah, ulama Syafi’iyah, ulama Hambali dan selainnya. Imam At Tirmidzi mengatakan bahwa inilah pendapat kebanyakan ulama dari kalangan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kalangan tabi’in dan ulama setelahnya.
Setiap pendapat di atas memiliki dalil pendukung masing-masing. Namun yang terkuat menurut kami adalah bolehnya membaca Al Qur’an bagi wanita haidh dan nifas. Inilah pendapat yang lebih mendekati kebenaran. Seandainya wanita haidh terlarang membaca Al Qur’an, tentu saja Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskannya dengan penjelasan yang benar-benar gamblang, lalu tersampaikanlah pada kita dari orang-orang yang tsiqoh (terpercaya). Jika memang benar ada pelarangan membaca Al Qur’an bagi wanita haidh dan nifas, tentu akan ada penjelasannya sebagaimana diterangkan adanya larangan shalat dan puasa bagi mereka. Kita tidak bisa berargumen dengan dalil pelarangan hal ini karena para ulama sepakat akan kedho’ifannya. Hadits yang dikatakan bahwa para ulama sepakat mendho’ifkannya adalah hadits yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu secara marfu’ (sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam),
لا تقرأ الحائض ولا الجنب شيئاً من القرآن
“Tidak boleh membaca Al Qur’an sedikit pun juga bagi wanita haidh dan orang yang junub.” Imam Ahmad telah membicarakan hadits ini sebagaimana anaknya menanyakannya pada beliau lalu dinukil oleh Al ‘Aqili dalam Adh Dhu’afa’ (90), “Hadits ini batil. Isma’il bin ‘Iyas mengingkarinya.” Abu Hatim juga telah menyatakan hal yang sama sebagaimana dinukil oleh anaknya dalam Al ‘Ilal (1/49). Begitu pula Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Fatawanya (21/460), “Hadits ini adalah hadits dho’if sebagaimana kesepakatan para ulama pakar hadits.”
Ibnu Taimiyah mengatakan dalam Fatawanya (26/191), “Hadits ini tidak diketahui sanadnya sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hadits ini sama sekali tidak disampaikan oleh Ibnu ‘Umar, tidak pula Nafi’, tidak pula dari Musa bin ‘Uqbah, yang di mana sudah sangat ma’ruf banyak hadits dinukil dari mereka. Para wanita di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga sudang seringkali mengalami haidh, seandainya terlarangnya membaca Al Qur’an bagi wanita haidh/nifas sebagaimana larangan shalat dan puasa bagi mereka, maka tentu saja Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menerangkan hal ini pada umatnya. Begitu pula para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahuinya dari beliau. Tentu saja hal ini akan dinukil di tengah-tengah manusia (para sahabat). Ketika tidak ada satu pun yang menukil larangan ini dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tentu saja membaca Al Qur’an bagi mereka tidak bisa dikatakan haram. Karena senyatanya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarang hal ini. Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak melarangnya padahal begitu sering ada kasus haidh di masa itu, maka tentu saja hal ini tidaklah diharamkan.”
Syaikhul Islam telah menjelaskan secara global tentang pembolehan membaca Al Qur’an bagi wanita haidh dengan menyebutkan kelemahan hadits yang membicarakan hal itu. Syaikhul Islam mengatakan dalam Majmu’ Al Fatawa (21/460), “Sudah begitu maklum bahwa wanita sudah seringkali mengalami haidh di masa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun tidak ditemukan bukti beliau melarang membaca Al Qur’an kala itu. Sebagaimana pula beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarang berdzikir dan berdo’a bagi mereka. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri memerintahkan kepada para wanita untuk keluar saat ied, lalu bertakbir bersama kaum muslimin. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahkan kepada wanita haidh untuk menunaikan seluruh manasik kecuali thawaf keliling ka’bah. Begitu pula wanita boleh bertalbiyah meskipun ia dalam keadaan haidh. Mereka bisa melakukan manasik di Muzdalifah dan Mina, juga boleh melakukan syi’ar lainnya.”
Fatwa 22-8-1427
Sumber: http://www.islamway.com

Tidak ada komentar: