Radio Muslim

Rabu, 16 Mei 2012

Kesucian Istri bagi Kesucian Keluarga



Membaca kembali petunjuk-petunjuk Ilahi bagi para wanita mulia; Ummahatul Mukminin (istri-istri Nabi dalam Surat Al Ahzab. Ada sebuah isyarat tipis menarik bagi keluarga kita. Karena para istri Nabi adalah teladan bagi setiap muslimah, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya.

Isyarat tipis itu adalah dhomir (kata ganti) yang berubah di ujung ayat 33. Ayat-ayat bagi Ummahatul Mukminin dimulai dari ayat ke-28. Semua kata ganti tentu saja menggunakan kata ganti kalian para wanita (أنتن). Contohnya ayat ini:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ إِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا فَتَعَالَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا (28)

(كُنْتُنَّ), (تُرِدْنَ), (فَتَعَالَيْنَ), (أُمَتِّعْكُنَّ), (وَأُسَرِّحْكُنَّ) kesemua kata ini kata gantinya adalah: kalian para wanita (أنتن).

Hingga di awal ayat 33 hingga pertengahan ayatnya pun kata ganti masih tetap: kalian para wanita (أنتن),

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآَتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ

(وَقَرْنَ), (وَلَا تَبَرَّجْنَ), (وَأَقِمْنَ), (وَآَتِينَ) adalah gabungan dari kata perintah dan larangan yang kata gantinya: kalian para wanita (أنتن).

Nah, di mana isyarat tipis yang menarik itu?

Berikut ini isyaratnya. Setelah perjalanan perintah dan larangan untuk kata ganti: kalian para wanita dari ayat 28 hingga pertengahan ayat 33, penutup ayat 33 berubah kata gantinya. Mari kita baca penutup ayat itu,


إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا

Inilah penutup ayat 33 itu. Dan perhatikan perubahan kata gantinya.
(عَنْكُمُ), kata gantinya adalah: kalian para laki-laki (أنتم)
أَهْلَ الْبَيْتِ, ini bukan kata ganti tetapi: Ahlul Bait (keluarga Nabi shallallahu alaihi wasallam)
وَيُطَهِّرَكُمْ, Allah menyucikan (أنتم): kalian para laki-laki

Dan inilah terjemahan penutup ayat 33 tersebut,
“…Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (Qs. Al Ahzab: 33)

Apa nilai dan pelajaran bagi keluarga muslim dari perubahan kata ganti tersebut?

Bimbingan wahyu bagi istri-istri Nabi dari ayat 28 – pertengahan 33 merupakan upaya maksimal yang harus dilakukan oleh setiap istri. Semua perintah harus dilaksanakan sebaik-baiknya. Semua larangan harus dijauh sejauh-jauhnya.

Ya, karena kesholehan itu ternyata bukan hanya bermanfaat bagi diri sang istri. Tetapi merupakan harga mahal bagi keseluruhan individu keluarganya. Di mana kesholehan istri menjadi modal penting untuk kesucian semua lini keluarga; suami, anak dan siapapun yang ada dalam bahtera rumah itu.

Bukalah ayat-ayat tersebut. Renungi kembali hubungan antara kesucian istri dengan kesucian keluarga (28-33).

Dan dapatkan mutiara pelajaran Al Quran yang tersembunyi dari perubahan kata ganti.

Sekaligus sebagai tanda Stop bagi saling menuntut. Menuntut kesholehan pasangannya dulu, baru dia bersedia untuk menjadi orang yang sholeh. Mulailah dari diri sendiri. Bangunlah kesholehan dari diri sendiri. Justru, ketika diri ini telah sholeh, harapan itu telah diberikan ayat.

Bahwa kesucian istri merupakan modal penting bagi kesucian keluarga.
Wallahu A’lam

Rabu, 01 Februari 2012

BARA ASMARA

BARA ASMARA Barakah = Sakinah + Mawaddah+ WaRahmah Sakinah (Ketenangan/Ketentraman) Sakinah diikat oleh halaqah yaitu penciptaan secara mutlak, Allah yang mengaruniakan pada jiwa masing-masing individu.... sakinah dari jiwa diri mereka sendir yang sama-sama beriman yang dipertemukan dalam ikatan suci pernikahan (mitsaqan ghaliza).... Jagalah dirimu dan keluargamu dari apai neraka..... (At_Tahrim: 56) Ketika seorang anak perempuannya dilamar oleh seorang laki-laki maka pilihlah yang baik agamanya dan akhlaknya...karena akan mendukung ke sakinahannya nanti. Akan timbul fitnah jika hanya melihat dari kecantikkan atau ketampananya, nasab/kedudukannya, hartanya. karena jika kita pilih karena agamanya dan mencintainya maka akan mulia..meskipun tak mencintai maka tak akan menyakiti istrinya,.. ketika seorang wanita ingin mengetahui bagaimana si calonnya maka lihatlah: a. Bagaimana akhlaknya terhadap kedua orang tuanya... b. Bagaimana akhlaknya pada anak kecil... c. Bagaimana akhlaknya pada karib sahabatnya.... Pada sahabtnya ia akana menghormati shabat-sahabatnya dan taka menggunjingi sahabatnya.. pada ke sakinahan akan timbul suasana yang baik dalam tarbiyatul aulad atau pendidikan anak-anaknya...demi generasi penerusnya nanti yang akan senantiasa melukiskan kalimat "Laillaha illalah" di muka bumi ini. Mawaddah (Cinta yang ber Gelora dan mendahulukan atau mengutamakan yang dicintai) sifatnya berbeda dengan sakinah , mawaddah diikat oleh Ja'ala yaitu ikhtiar masing-masing individu atas ridho Allah SWT. Allah ya Bari memberi ruang untuk amsing-masing berkarya dan berusaha... Tentu perlu ILMU dan Ketrampilan khusus dalam mengkespresikan Cintanya... adanya mawaddah akan menimbulkan gairah semangat hidup dan beramal..sehingga senantisa Zikrullah dan mendekatkan diri pada Allah Saat suami bekerja...teringat sang istri saat sebelum berangkat mencium tangannya dan berkata "suamiku aku lebih sabar dalam menahan lapar daripada dikau memberiku sesuatu yang haram". alangkah terharunya sang suami dan akan teringat selalu akan pesan sang istri agar ingat Ada Allah... Mawaddah dapat diraih dengan memberi kejutan-kejutan yang bermakna bagi pasngannya..tak perlu dengan barang-barang mahal seperti mobil, emas , berlian...namun sesuatu yang sederhana namun berarti seperti ucapan terimaksih saat istri berbuiat kebaikan pada sang suaminya, saat setelah memasak, mengasuh anak seharian ato sebagainya... dengan selembar kertas berisi "Wahai isriku Aku mencintaimu karena ke sholehanmu" dan ditempel diruang sholat istrinya... ato di dekat dapur... Kita juga dianjurkan memilih pasngan yang al-walul banyak keturunan/subur dan al-wadud penuh mawaddah.. seperti sabda rasulullah bahwa Rasul akan bangga akan jumlahnya umatnya yang banyak di hari akhir nanti... Rahmah (Cinta yang menutamakan yang dicintai karena takut akan menyakiti pasangannya melalui penjagaan dan pengorbanan yang tinggi) cinta bukanlah kata sifat namun kata kerja yang mengandung perjuangan...hingga sang maut menjemput... adanya SAKINAH MAWADDAH WA RAHMAH Diikat jadi satu dalam 'BARAKAH" yaitu bertambahnya segala kebaikan dalam setiap hal...menambah kedekatan diri pada Allah SWT, dan saling memberi manfaat, "khorunnas anfauhum linnas" jadi tak hanya bahagia karena bahagia pun belum tentu baik saat tak mendekatkan diri kita pada Allah.. misal saat terbawa terbahak-bahak di bioskop. Saat terjadi kejenuhan /bored... so do some variety... suasana,...tempat (saat makan), menu makanan yang halal dan thoyib... Hendaklah baik suami melihat istri merasa tentram dan senantiasa tertarik pada istrinys... dalam psikologi karakter suami dan istri berbeda suami ibarat 'Karet Gelang" yang bisa ditarik dan diulur...maksudnya??? dalam membangun ego kepemimpinannya sebgai suami sekaligus ayah memang perlu kedekatan khusus (erat) namun mudah terlena atau merasa hilang /linglung... makanya terkadang mereka perlu waktu menyepi dalam rangka mengokohkan kepemimpinannya itu...jadi istri tak perlu galau atau merasa khawatir saat tiba-tiba sang suami menyepi...dia ingin berkhalwat hanya berdua dengan Allah... sedangkan wanita ibarat "ombak " ia akan selalu ada...ia ingin suaminya selalu ada didekatnya... Saat harus LDR atau berjauhan hubungan, maka tak jadi masalah,..justru akan lebih kuat ikatan hatinya dan managementnya diri justru lebih baik... SAMARA ini akan tetap terjaga dengan pertemuan-pertemuan yang terjadwal dengan baik, tetap kpmunikasi yang baik, dan adanya surprise-surprise dari pasngan masing-masing. Saat menikah maka sang istri wajib mentaati suaminya,..sedangkan sang suami mentaati ibunya... Simbol bhakti isri pada suami pada keridhoaan suami...yang dilandasi karena Allah. bahkan saat sang istri bersalah ia akan lakukan sujud ditelapak kaki suaminya agar suaminya ridho kepadanya. Saat sang suami melakukan kesalahan sang istri berhak menasehatinya dengan cara yang mulia dan agung atas dasar Allah.. karena ia telah memilih pendampingnya karena Allah atas dasar sholat istikhoroh maka ia takkan menyesal dan ia takkan merugi karena telah bermusyawarah dengan keluarganya... Saat memilihnya dengan proses yang bersih....terjaga hukum-hukum syar'inya meski tak mudah... proses uyang merupakan wasilah agar terciptanya sakinah mawaddah warahmah full barakah dalam kehidupan pernikahannya nanti...amin. (part SAMARA = BARAKAH novelku " Kujemput Jodohku lewat RidhoMu" amin )

Selasa, 30 Agustus 2011

Mohon maaf lahir batin 1432 H...

Selasa, 16 Agustus 2011

Belajar Pada Anak Kecil, maukah?



Islamedia - Seorang gadis kecil pulang dari sekolah. Setibanya di rumah, ibunya melihat anak putrinya dirundung kesedihan. Maka ia pun bertanya kepada putrinya itu tentang sebab kesedihannya. Anak: “Aduhai ibuku, sesungguhnya ibu guru telah mengancam akan mengusirku dari sekolah karena pakaian panjang yang kupakai.”

Ibu: “Tetapi itu adalah pakaian yang dikehendaki oleh Allah, wahai putriku.”

Anak: “Benar, wahai ibu, akan tetapi ibu guru tidak menghendakinya.”

Ibu: “Baiklah, wahai putriku, guru itu tidak menghendaki, tetapi Allah meng­hendakinya. Lalu siapakah yang akan kamu taati? Apakah kamu akan mentaati Allah yang telah menciptakanmu dan membentukmu, serta yang telah mengaruniakan kenikmatan kepadamu? Ataukah kamu akan mentaati seorang makhluk yang tidak mampu memberikan manfaat dan madharat kepada dirinya?”

Anak: “Sesungguhnya saya akan taat kepada Allah.”

Ibu: “Bagus, wahai putriku, kamu tepat sekali.”

Pada hari berikutnya, gadis kecil itu pergi dengan mengenakan baju yang panjang. Tatkala ibu guru melihatnya, ia langsung mencela dan memarahinya dengan keras. Gadis kecil itu tidak mampu memikul amarah tersebut, ditambah lagi oleh pandangan teman-teman perempuannya yang mengarah kepadanya.

Tidak ada yang ia lakukan selain berteriak menangis. Kemudian, gadis kecil itu mengeluarkan kata-kata yang besar maknanya meski sedikit jumlahnya, “Demi Allah, saya tidak tahu siapa yang akan saya taati, anda ataukah Dia?”
Ibu guru itu pun bertanya, “Siapakah Dia itu?”

Anak itu menjawab, “Allah. Apakah saya harus taat kepada anda, sehingga saya mesti memakai pakaian seperti yang engkau kehendaki, tetapi saya berbuat maksiat kepada-Nya. Ataukah saya mentaati-Nya dan tidak mentaati engkau? Ah, biarlah saya akan mentaati-Nya saja, dan apa yang terjadi terjadilah.”

Aduhai, betapa agungnya kalimat yang keluar dari mulut si kecil itu. Sebuah kalimat yang menampakkan wald (ketaatan) yang mutlak kepada Allah. Gadis kecil itu bertekad untuk berpegang kuat dan taat ke­pada perintah Dzat Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa Akan tetapi….apakah bu guru itu hanya berdiam saja darinya?

Ibu guru itu meminta dipanggilkan ibu si anak kecil tersebut. Apa yang ia inginkan darinya?

Maka datanglah si ibu itu…

Ibu guru berkata kepada ibu anak kecil itu, “Sesungguhnya putri anda telah menasihatiku dengan nasihat paling besar yang pernah aku dengar di sepanjang hidupku.”

Benar, ibu guru telah mengambil pelajaran dan nasihat dari murid kecilnya. Ibu guru yang mengajarkan pendidikan dan telah mengambil bagian yang besar dari ilmu.

Seorang guru yang ilmunya tidak dapat menghalanginya untuk mengambil nasihat dari seorang gadis kecil yang mungkin seusia dengan putrinya.

Salam penghormatan, semoga terlimpahkan kepada guru ini. Salam peng­hormatan juga untuk gadis kecil yang telah memberikan pendidikan Islamiyah dan telah berpegang kepadanya.

Salam penghormatan untuk sang ibu yang telah menanamkan dalam diri putrinya rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Seorang ibu yang yang telah mengajarkan kepada putrinya rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.

Wahai ibu-ibu muslimah, di depan anda lah anak-anak anda. Mereka seperti adonan tepung. Anda bisa membentuknya sebagai-mana yang anda kehendaki, maka bersegera-lah untuk membentuk mereka dengan bentuk yang diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya.

Ajarkanlah shalat kepada mereka
Ajari mereka ketaatan kepada Allah
Ajari mereka untuk bisa tetap tegar dan kokoh di atas kebenaran
Ajarkanlah semua itu kepada mereka, sebelum mereka menginjak usia baligh.
Karena jika pada saat mereka masih kecil tidak mendapatkan pendidikan yang baik, maka sesungguhnya anda sekalian akan menyesal dengan penyesalan yang besar, karena mereka akan menjadi anak-anak yang menyimpang pada saat mereka telah dewasa.

Gadis kecil ini tidak hidup pada zaman Sahabat dan juga Tabi’in. Sesungguhnya ia hidup pada zaman modern sekarang ini.
Ini menunjukkan bahwa, kita bisa menciptakan generasi-generasi semisal gadis kecil tersebut dengan izin Allah. Seorang gadis kecil yang bertakwa lagi berani untukmenampakkan kebenaran serta tidak takut akan cemohan dan ejekan orang orang, demi membela agama ALLOH.

Wahai saudariku yang beriman, inilah putrimu.
Ia berada dihadapanmu,
berilah ia air minum takwa dan kesalihan

Perbaikilah lingkungannya dengan cara menjauhkannya dari air yang kotor, serta bakteri yang membahayakan.

Hari-hari telah berada dihadapan anda,
Perhatikanlah apa yang akan anda perbuat,
terhadap amanah yang telah dititipkan kepada anda,
Oleh ALLOH Tuhan Pemilik langit dan bumi.

Bagaimana Mereka Mendidik Kami (Tulisan seorang Anak Kader Dakwah)



Islamedia - Saya bingung ingin memulai kisah ini dari mana ketika seseorang yang saya hormati meminta saya menuliskan tentang bagaimana orangtua saya mendidik saya—atau lebihnya tepatnya “kami”, saya dan adik-adik saya. Kedua orangtua saya, adalah orang yang betul-betul sederhana. Dan karena saking sederhananya itulah saya merasa bingung apa yang mesti saya tulis di sini.

Mereka bukan siapa-siapa di jagat raya ini. Mereka orang biasa, yang bila berada di antara kerumunan orang tak akan menjadi pusat perhatian. Tapi berbeda jika mereka sudah berada di rumah. Mereka seperti matahari, yang menjadi pusat perputaran planet-planet dalam gugusan bima sakti. Dan kamilah planet-planet itu.

***

Sebelum saya dipindahkan ke SDIT pada kelas 2 SD, saya bersekolah di SD Islam As Salafy. Namanya saja ada embel-embel “Islam”. Tapi nilai-nilai yang ditanamkan, layaknya di sekolah biasa. Nilai-nilai kebaikan standar. Malah, aneh betul kayaknya tiap orangtua murid dan guru memperhatikan saya lantaran saya memakai jilbab dan seragam sekolah yang lebih panjang dari yang lain. Seolah-olah ada yang salah dengan saya.

Ya, saya memang berbeda di antara sekian ratus siswa di sekolah itu. Mata murid-murid melirik, bertanya-tanya; kenapa pakai jilbab ke sekolah? Bukankah pakai jilbab kalau kita ke TPA saja? Apalagi kalau Ummi datang ke sekolah. Wah mencuri perhatian betul itu. Karena Ummi memakai gamis dan jilbab lebar lengkap pula pakai kaus kaki walaupun alas kaki yang digunakan cuma sandal jepit swallow. Kalau Ummi menambah pakaiannya dengan cadar, mungkin mata-mata itu bukan menatap atau melirik lagi. Tapi melotot. Sebaliknya, guru yang pakai jilbab dengan rok sepan sedengkul tidak dianggap aneh.

Mungkin itu perasaan ‘berbeda’ yang saya rasakan pertama kali dengan amat jelas. Pada kenyataannya memang keluarga kami berbeda dengan para tetangga. Tapi jangan salah, berbeda bukan berarti lantas kami menutup diri. Walau Ummi adalah orang yang tidak banyak omong, tapi Ummi ramah pada tetangga. Para tetangga menganggap keluarga kami mungkin keluarga santri atau setidaknya paham agama. Sehingga para orangtua mengirim anak-anaknya ke rumah kami untuk belajar mengaji.

Saya lupa bagaimana dulu orangtua saya menjelaskan pada saya dan adik-adik yang perempuan tentang jilbab. Seingat saya, kelas 1 SD itu saya sudah rutin memakai jilbab kalau keluar rumah. Walaupun baju yang saya kenakan tidak menutup seluruh aurat. Saya kecil kerap memakai baju tidur sedengkul-lengan-pendek, tapi berjilbab, berlari-larian main petak jongkok dengan anak-anak sebaya. Yang saya ingat dulu, Abi seringkali berteriak meledek saya kalau kedapatan saya tidak mengenakan jilbab. Ia memanggil saya begini; “Hei, Ahmad!”

Sebagai anak perempuan kecil, saya ogah diasosiasikan sebagai lelaki.

***

Di rumah kami ada barang yang baru kami punyai ketika saya SMP, yaitu televisi. Sebelumnya, kami tak mengenal baik benda itu. Pernah punya tivi, tapi tidak lama karena tivi yang kami punya masih hitam putih, tivi tahun 60-an dengan gambar yang kruwek-kruwek. Bentuknya juga antik, udah ga jaman banget di tahun 90-an itu; kotak kayu, dengan tombol-tombol untuk pindah channelnya di sisi kanan. Kacanya pun cembung bukan main. Tivi ini juga cuma bisa menangkap dua stasiun; TVRI dan TPI. Yah, mana ada yang mau berlama-lama menonton dengan tivi butut—sementara pada saat itu sudah eranya tivi berwarna dan ber-remote control?

Entah apa memang orangtua kami asli tidak mampu membeli tivi baru atau memang mereka punya prinsip sendiri soal tivi. Tapi yang jelas, tak mudah meminta tivi baru. Jangankan itu, meminta dibelikan mainan baru atau sesuatu yang sedang ngetrend saat itu di dunia anak-anak pun, kami mesti susah-susah mengajukan ‘proposal’ (berupa rengekan yang bisa berujung pada tangisan) apa manfaat barang itu bagi kami.

Ketika lagi trend koleksi kertas surat, hampir seluruh teman sekelas saya yang perempuan punya itu. Begitu juga teman sekelas adik saya. Demam kertas surat melanda satu sekolah (saat itu saya sudah sekolah di SDIT IQRO’). Rasanya, saya saja di kelas yang tidak punya koleksi semacam itu. Saya cuma menonton bagaimana teman-teman saya mengatur kertas-kertas surat nan wangi itu, mengeluarkannya dari map, menjejerkannya di meja, menumpuknya dengan rapi, memasukkannya lagi ke map, lalu mengulang ritme yang sama setiap ada kesempatan sembari bercerita ini beli di mana atau menukar dengan siapa.

Begitu juga saat demam stiker tokoh-tokoh kartun. Saya menjadi penonton. Atau ketika demam koleksi kertas file bergambar. Saya pun tidak punya itu. Atau (lagi) ketika demam pulpen gantung bak wartawan yang tintanya wangi, saya juga tidak punya itu. Saya berbeda. Dan kala itu, perasaan berbeda bukan lagi perasaan pertama, tapi ke sekian kalinya.

Ingin juga sih punya itu semua. Yah saya kan anak kecil biasa yang suka iri melihat milik teman. Tapi meminta pada orangtua itu semua, butuh energi untuk menjelaskan; sebenarnya untuk apa barang-barang itu? Dan orangtua kami, menanyakan hal tersebut bukan untuk basa-basi. Kalau memang kami tidak bisa menjelaskan alasan kenapa kami ingin barang-barang tertentu, mereka tidak akan memberikannya. Mau sampai nangis guling-guling di tanah pun, orangtua kami tidak akan mencabut kata-katanya. Belakangan, saya tahu sebenarnya hati Ummi sakit melihat anaknya meminta sesuatu sampai menangis apalagi sampai guling-guling di lantai. Tapi memang harus ada sakit yang tertanggung untuk sebuah kebaikan.

Ummi ataupun Abi tidak menurunkan posisi tawar demi melihat kami ngamuk sampai guling-guling. Mereka tidak lantas bilang: “Ya deh, ya deh… Abi belikan nanti…” Bagi mereka, kami tidak boleh belajar ‘menangis untuk mendapatkan sesuatu’.

Ketika sudah tenang dari isak tangis dan amukan, barulah ada kata-kata yang mampu meluluhkan hati.

“Bukannya ga boleh punya kertas file. Boleh-boleh aja, tapi kan tadi Ummi nanya; buat apa? Kalo cuma untuk dikoleksi, apa nggak buang-buang uang? Padahal kamu tuh butuh barang lain yang lebih penting. Coba aja liat besok. Pasti besok temen-temen kamu udah bosen sama kertas file. Ganti lagi koleksi yang lain. Dulu juga begitu kan? Semuaaaa punya kertas surat. Tapi lama-lama temen-temen kamu bosen sama kertas surat. Terus ganti sekarang ganti kertas file. Terus dikemanain kertas suratnya? Jadi bungkus cabe? Apa disimpen aja? Apa iya kertas suratnya dipake buat kirim surat ke temen?”

“Tapi kan semua temen punya, masa aku ga punya…”

“Udah, santai aja. Ga ditangkep polisi kok kalo ga punya kertas file…”

Saya yakin, orangtua saya tidak paham teori gelombang otak yang katanya, kalau ingin mendoktrin anak itu paling baik saat otak berada dalam keadaan tenang antara sadar dan tidak. Tapi memang, orangtua saya biasanya mendiamkan dan tidak memberikan wejangan apa-apa saat kami-kami ini mengamuk. Nasehat baru keluar ketika sudah capek menangis dan guling-guling, sementara otak mengirim sinyal ke mata agar mengantuk.

Rasanya, orangtua saya juga tidak berkata; “Nanti kalau Abi ada rezeki, Abi belikan ya kertas suratnya…”

Logis sih, karena bisa jadi ketika Abi ada rezeki, barang yang saya mau (misalnya kertas surat wangi dan bergambar indah itu) sudah tidak ngetrend lagi untuk dijadikan koleksi. Punya tapi telat, kan rasanya ketinggalan jaman banget. Dan memang trend itu begitu. Berubah dengan cepat seiring cuaca.

Ketika Abi ada rezeki, yang Abi belikan pada kami adalah buku. Macam-macam buku dan majalah. Kami juga berlangganan majalah anak-anak Aku Anak Saleh dan Orbit, di samping berlangganan koran Republika. Kami punya setumpuk koleksi kisah nabi-nabi terbitan Rosda Karya yang nama belakang penulisnya saya ingat “Pamungkas”. Saya ingat nama belakangnya saja, karena dulu saya pernah bertanya pada Ummi: “Pamungkas itu artinya apa, Mi?” Ummi jawab: “Terakhir”. Saya ngomong lagi: “Berarti dia anak terakhir dong, Mi?” Ummi jawab: “Iya. Bisa jadi…”. Itu sekedar intermezzo.

Jadi rasanya aneh kalau bilang orangtua saya pelit karena anaknya tidak dibelikan ini-itu yang dimau. Karena memang orangtua saya tidak pelit kalau sudah menyangkut hal-hal-yang-memang-kami-butuhkan-bukan-sekedar-keinginan. Saya ingat, Ummi bahkan pernah menjual cincin satu-satunya agar saya dan Rusyda (adik saya) bisa ikut acara kemah dari sekolah. Acaranya selama tiga hari dan banyak perlengkapan yang harus dibawa. Di saat yang bersamaan, Ummi dan Abi tidak punya cukup uang untuk biaya kemah tersebut. Maka Ummi pergi pagi-pagi ke Pasar Pondok Gede, menjual satu-satunya cincin miliknya yag polos tanpa ukiran dan permata sebagai hiasan, dan pulang ke rumah membawa pula barang-barang yang kiranya kam perlukan selama kemah.

Saya tahu kemudian Ummi menjual cincinnya untuk kami, ketika saya dapati pulang dari pasar Ummi tidak memakai cincin itu lagi. Padahal, cincin itu adalah ciri khasnya. Selalu ada di jari manis kanannya. Sehingga janggal sekali bila mendapati Ummi tanpa cincin emas polos itu.

Peristiwa sederhana ini yang kemudian selalu ingatkan saya; bahwa orangtua kami yang sederhana ini, sebetulnya kaya. Mereka punya banyak stok kesabaran untuk mendidik kami secara konsisten. Mereka punya banyak stok keikhlasan untuk tidak mengungkit apa yang telah mereka lakukan. Mereka punya banyak stok harapan untuk melihat kami menjadi ‘seseorang’ bukan ‘seonggok’.

Hikmah besar di balik ‘kepelitan’ mereka untuk tidak selalu memberikan apa saja yang kami minta; kami belajar menghargai apa saja yang mereka berikan. Kami masih menyimpan boneka yang Ummi belikan ketika kami masih kecil. Jarang-jarang kan Ummi belikan kami boneka? Jadi begitu Ummi memberikan boneka pada kami, boneka itu kami jaga baik-baik. Kami pajang di lemari. Begitu juga buku-buku dari masa kecil kami. Belakangan, kami sumbangkan buku-buku itu untuk taman bacaan dekat rumah.

Bukan hanya pemberian berupa barang, tapi juga momen-momen bepergian yang jarang kami lakukan. Sekalinya kami pergi bersama, walau itu hanya makan bersama di warung tenda pinggir jalan, kami benar-benar menikmatinya dan mengabadikannya dengan cara kami. Yang rajin menulis buku harian, menulis di buku hariannya. Yang senang menggambar, menggambarkan apa saja yang dilihatnya selama pergi bersama.

Coba kalau orangtua kami ‘murah hati’. Kami nangis sedikit, maka datanglah apa yang kami minta. Bisa jadi lambat-laun kami tidak menghargai apa-apa yang orangtua kami berikan karena saking seringnya menerima pemberian dari orangtua kami. Alih-alih berterimakasih, mungkin kami akan protes; “lho kok yang begini? Kan aku minta yang begitu!”. Dengan selektifnya orang tua kami dalam memberikan sesuatu, secara tak langsung kami belajar bagaimana harus berterimakasih dan menghargai pemberian orang lain.

Selain itu, ke-konsisten-an mereka untuk menolak membelikan sesuatu yang manfaatnya kecil, membuat kami belajar setiap kali ada benda yang kami inginkan. Kami belajar menganalisis sendiri, apakah benda itu kemudian layak kami miliki? Kalau tidak, sudahlah lupakan benda itu.

Lalu, adakah kemudian di saat dewasa dan punya penghasilan sendiri, saya dendam untuk memiliki benda-benda yang tak sempat saya miliki di waktu kecil? Untungnya tidak. Sebabnya karena itu tadi, kami senantiasa diajak menganalisis; apakah benda yang saya inginkan ini bermanfaat? Bahkan sampai sekarang, kalau saya punya uang sendiri dan mau beli sesuatu, Ummi pasti menodong dengan pertanyaan; buat apa?

Pernah juga terbersit; Kok Ummi gitu sih? Selalu tanya buat apa. Ini kan uangku sendiri!

Tapi entah bagaimana, ujung-ujungnya saya berpikir ulang; apa manfaat benda itu untuk saya? Dan urung untuk membeli benda tidak penting itu. Mungkin karena saking kuatnya doa Ummi, sampai-sampai saya selalu tidak bisa membantah apa kata Ummi. Walau awalnya membantah, selalu saja berakhir dengan gumaman pada diri sendiri; iya ya, bener juga.

***

Karena kami keluarga sederhana, imbasnya bukan saja susah kalau mau meminta sesuatu. Tapi juga berimbas dari desain rumah kami yang sederhana. Ruangan yang disekat hanya kamar tidur dan kamar mandi. Ruang tamu, ruang tengah, ruang makan menyatu tanpa sekat. Tidak ada lantai dua. Kamar pun hanya tiga; kamar orangtua, kamar anak perempuan, dan kamar anak laki-laki. Tagline untuk rumah kami; ke kanan nyenggol, ke kiri nyenggol.

Hikmahnya punya rumah dengan desain nge-blong begini adalah adanya kontrol yang maksimal di antara anggota keluarga. Kalau ada satu anak yang lagi suram, seisi rumah akan segera tahu karena pas sembunyi di kamar, eh saudara yang lain masuk kamar (yang memang nggak ada kuncinya) terus melihat saudaranya yang satu ini lagi menangis. Melaporlah si saudara yang lain ini pada Ummi; “Mi, Kak Anu nangis di kamar…” Nanti kata Ummi; “Husss… udah diemin dulu…”

Walaupun begitu, Ummi dan Abi menghargai privasi kami. Mereka tidak pernah membuka-buka laci kami tanpa keperluan. Mereka percaya sekali, bahwa satu sama lain di antara kami akan saling mengingatkan kalau misalnya ada suatu barang yang bermasalah. Kan kalau barang itu disembunyikan, artinya barang itu bermasalah. Misalnya saja saya menyembunyikan coklat. Tidak perlu menunggu besok, adik saya yang lain sudah akan menemukannya di hari yang sama. Dan coklat itu memang barang yang bermasalah karena tidak dibagi.

Masih soal kontrol di antara anggota keluarga, semua ruangan yang bermuara di ruang tengah ini juga membawa keuntungan tersendiri bagi Ummi dan Abi. Mereka jadi mudah mengontrol aktivitas kami. Cukup duduk di ruang tengah, maka akan terlihat si Asiah lagi apa, Rufaida lagi apa, Hania lagi apa, dan yang lainnya. Selain itu, juga jadi mudah melihat siapa yang sudah sesore ini belum pulang ke rumah.

Sosialisasi pun tak perlu membuang energi banyak. Misalnya, merutinkan mengaji setiap habis maghrib. Tak perlu menggedor setiap pintu kamar sambil bilang: “hoi, ngaji!”. Sekali lagi, duduklah Ummi di ruang tengah sambil bilang; “ayo, ayo ngaji…” kemudian Ummi dan Abi mengaji di ruang tengah. Yang tadinya urung mengaji, jadi malu sendiri karena seisi rumah mengaji. Begitu juga kebiasaan berdiskusi di rumah kami. Ummi dan Abi jarang berdiskusi hanya berdua di kamar—kecuali kalau hal yang mereka diskusikan bukan menjadi urusan kami. Mereka terbiasa membaca buku, menghafal Qur’an, hadits, juga berdiskusi—dari soal agama, politik, sosial, sampai ekonomi—di ruang tengah. Mau tak mau, kami jadi ikut mendengar dan terbiasa dengan iklim itu.

Abi dan Ummi juga biasa menceritakan apa yang mereka alami hari itu kepada kami semua. Walau mungkin sebenarnya menceritakannya hanya kepada Abi atau Ummi. Tapi apa mau dikata, mereka bercerita di ruang tengah. Kami juga jadi ikut-ikut dengar, lalu nimbrung, lalu ikut-ikutan bercerita. Lama-lama kami pun biasa saling bertukar pengalaman di ruang tengah. Entah sambil makan, atau sambil belajar.

Orangtua kami tidak memaksakan terbangunnya suasana akrab. Mereka tidak memaksa diri mereka untuk nyambung dengan dunia kami. Suasana akrab itu terbangun karena kebiasaan yang sudah lama dibiasakan sejak kami masih kecil; saling terbuka dan bercerita. Rasanya kok aneh saja kalau tidak cerita ke Ummi. Sehingga keresahan-keresahan yang kami rasakan—terlebih yang berhubungan dengan identitas kami sebagai muslim/ah yang mencoba ber-Islam secara kaffah—akan tercetus begitu saja, tanpa perlu ragu menceritakannya pada orangtua.

***

Kalau memutar kembali memori, sepertinya orangtua kami tidak terlalu repot menjebloskan kami untuk aktif dalam tarbiyah. Pemahaman kami akan pentingnya tarbiyah, tidak dipupuk dalam sehari langsung jadi. Di rumah sederhana kami, permasalahan ummat menjadi tema diskusi asyik. Dari diskusi ke diskusi, kesadaran kami akan pentingnya tarbiyah menjadi tumbuh sendiri. Pada awalnya malas datang ke tempat liqo. Kan bisa belajar aja sama Ummi, bantah kami. Tapi Ummi bilang, di rumah belajar juga, di luar belajar lebih banyak lagi. Tidak tanggung-tanggung, saya dan Milla sempat merasakan bagaimana Abi benar-benar amat memaksa kami sampai-sampai kami diantar ke tempat liqo, dan ditunggui pula sampai liqo selesai.

Kesannya, Abi kok kayak ga punya kerjaan lain aja selain nganterin anak liqo dan nungguin. Tapi pemaksaan serupa itu, membuat kami mencerna sendiri; berarti liqo itu emang penting banget ya, sampe-sampe Abi mau nganter dan nungguin aku…

Kami juga tidak lepas dari badai keinginan ingin pakai celana panjang dan jilbab agak naik sedikit. Keresahan itu kami ungkapkan pada Ummi; “kok si Anu pakai bajunya begitu, Mi. Aku boleh ga pakai baju kayak dia? Abis kemaren aku ke sekolah pakai rok dibilangnya kayak ibu-ibu…”

Nah lho… kalo saya jadi Ummi, saya bingung juga mau nasehatin kayak apa.

Ummi pada awalnya membolehkan kami memakai celana panjang asal longgar. Jilbab juga yang penting menutup dada, tidak perlu sampai lewat pinggang. Tapi kok ya baju yang dibelikan Ummi pada kami lagi-lagi rok. Ya apa boleh buat. Toh roknya juga not bad kok. Dan Ummi sekali waktu bilang: “perempuan itu lebih anggun tau kalo pake rok…” agak membesarkan hati sedikit. Tapi kemudian di sekolah, dikomentarin teman lagi: “Perasaan lo pake rok terus deh, sekali-kali dong pake celana panjang… gue pengen deh liat penampilan lo pake celana panjang…”

Komentar teman seperti di atas selalu bikin ciut. Untung kami punya Ummi. Lagi-lagi lapor ke Ummi, teman komentar begini, begitu. Ummi akan bilang: “ga usah didengar… Mereka memang selalu berkomentar. Orang itu kalau mau jadi lebih baik memang cobaannya banyak. Kalau kamu ciut hanya karena komentar begitu, sekarang bayangin jaman dulu waktu jilbab belum zamannya, perempuan yang pakai jilbab dijauhi orang, disangka aliran sesat, bahkan ada yang diusir dari rumah… Padahal perintah pakai jilbab itu ada di Al Qur’an, tapi malah dihina…”

Cerita-cerita itu membuat kami merasa tidak sendiri. Lagipula, kami biasa berbeda. Kami tidak tinggal di tengah-tengah keluarga tarbiyah yang lain. Kami tinggal di kampung yang tingkat pendidikan masyarakatnya rendah sampai-sampai anak kecil diajarkan buang air di kebun-kebun. Sampai-sampai pula, keluarga kami dicap orang Muhammadiyah yang kalo mens pun perempuan tetap sholat, dan kalau ada yang meninggal tidak disholatkan. What? Kayaknya orang Muhammadiyah ga gitu deh…

Jadi, menjadi berbeda di sekolah atau di antara teman sepermainan, adalah menambah sedikit daftar perbedaan kami. Orangtua selalu membesarkan hati kami lewat cerita dan diskusi. Bahwa menjadi berbeda itu sama sekali tidak buruk. Untungnya, nasehat ini tidak serta merta muncul ketika kami puber, di mana kami sudah kenal ‘dunia luar’. Mungkin karena Ummi saya tidak sibuk, dan Abi juga tidak sibuk dalam pekerjaan, jadi kami tidak mengalami missing age di mana ada kalanya kami jauh dari Ummi dan Abi. Mereka benar-benar orang terdekat kami dan teman sejati kami; orang-orang pertama yang kami hampiri ketika ada keresahan dan pertanyaan. Dan saya yakin betul, kedekatan ini tidak dibangun dalam hitungan hari, tapi hitungan tahun; sejak saya masih kecil, hingga kini umur saya menginjak 24 tahun.

***

Tidak ada hal khusus yang diterapkan orangtua kami untuk mendidik kami. Tidak ada buku parenting bertumpuk-tumpuk. Mereka tidak hapal teori psikologi pendidikan. Bahkan mungkin tidak tahu juga ada teori itu. Mereka juga tidak rajin ikut seminar-seminar parenting. Mereka terlampau sederhana untuk itu semua. Mereka mendidik kami dengan ilmu yang mereka punya ditambah dua hal saja: kontinyu dan konsisten. Kontinyu dalam hal mengingatkan, menasehati, dan mencontohkan. Konsisten dalam hal sekali bilang tidak maka tidak; tidak ada prinsip yang berubah.

Seperti matahari pada gugusan bima sakti, mereka terus menyinari, terus menjadi pusat kehidupan kami, tak bosan, tak lelah.

Minggu, 24 Juli 2011

Menangis Sebagai Bahasa Komunikasi Isteri

Oleh : Cahyadi Takariawan

Dalam kehidupan rumah tangga, banyak sekali cara yang digunakan untuk berkomunikasi. Suatu ketika suami dan isteri bisa berdiskusi dengan lancar tentang berbagai macam tema. Mereka berdua mengobrol, bercerita, berdialog tentang berbagai urusan rumah tangga hingga urusan dunia. Mereka bisa saling mengungkapkan perasaan dan keinginan masing-masing dengan lancar, tanpa kendala dan tanpa kekakuan suasana.

Namun relasi suami isteri sering mengalami fluktuasi, kondisinya bisa sangat cepat berubah. Ada masa dimana hubungan di antara mereka menjadi jauh dan berjarak. Mereka berdua tidak bisa nyaman berdiskusi, tidak bisa jenak bercerita, tidak bisa lancar berkata-kata. Suasana di dalam rumah terasa sangat kaku bahkan sangat menyiksa. Ada suasana asing dan aneh yang menyelimuti rumah tangga, sehingga mereka berdua memilih saling mendiamkan dan tidak bertegur sapa.

Kadang ada keinginan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Saat isteri memendam banyak sekali perasaan yang tidak bisa ditumpahkan dengan kata-kata, maka mengalirlah air mata. Rata-rata kaum perempuan lebih mudah dan lebih banyak menangis dibanding rata-rata laki-laki. Konon, rata-rata perempuan menangis sekitar 47 (empatpuluh tujuh) kali dalam setahun, sedangkan laki-laki hanya 7 (tujuh) kali saja. Tingginya hormon prolaktin dalam tubuh perempuan diduga menjadi salah satu penyebabnya.

Ketika isteri menangis, sesungguhnya ia sedang mengekspresikan perasaan dan mencurahkan keinginan yang terpendam. Ia ingin mengungkapkan sesuatu, namun tidak mampu dilukiskan dengan kata-kata. Mungkin perasaan sangat bahagia, mungkin perasaan sangat terluka, mungkin perasaan sangat kagum, mungkin perasaan sangat benci. Air mata lebih bisa mewakili perasaan yang ingin diungkapkan dibandingkan dengan kata-kata. Ada sangat banyak keterbatasan kata untuk mewakili suasana hati.

Bagi para suami, hendaklah semakin pandai memahami bahasa komunikasi yang satu ini. Saat melihat isteri menangis, pahamilah ia tengah berkomunikasi dengan bahasa air mata. Oleh karena itu tidak layak bagi para suami untuk memarahi isteri yang sedang menangis, atau memaksanya untuk diam. Apalagi jika sampai mengancam dan menggunakan kekerasan dalam rangka membuat sang isteri menghentikan tangisnya. Bukankah ia sedang berkomunikasi lewat tangisnya, mengapa dipaksa diam ? Para suami harus bersedia mendengar dan menampung tangis isterinya, sebagai bagian dari media berkomunikasi.

Ada sangat banyak pesan yang bisa disampaikan lewat tangis isteri. Para suami harus semakin pandai memahami pesan yang sedang disampaikan isteri lewat tangisnya. Mungkin saja ada pesan seperti ini yang hendak disampaikan sang isteri melalui tangis :

“Aku sungguh sangat mencintaimu”.
“Aku tidak ingin kehilanganmu”.
“Aku sangat bangga menjadi isterimu”.
“Suamiku, betapa bahagia hatiku berdekatan denganmu”.

Atau bisa jadi, ada pesan seperti ini :
“Engkau benar-benar tidak memahami perasaanku”.
“Engkau salah mengerti tentang diriku”.
“Engkau tidak pernah mempedulikanku”.
“Engkau tidak tahu betapa sangat sakit hatiku”.

Mungkin juga, isteri sedang mengirim pesan seperti ini :
“Aku kecewa sekali dengan sikapmu”.
“Engkau lelaki yang sangat kasar dan tidak berperasaan”.
“Aku sangat membenci perbuatanmu”.
“Malu sekali aku menjadi isterimu”.

Ketika selesai menangis, ada perasaan lega. Seperti telah berhasil melenyapkan gunung yang menghimpit tubuhnya. Perasaannya lebih nyaman dan suasana emosinya menjadi lebih stabil. Apalagi ketika suami mendekat dan memeluknya dengan penuh kasih sayang serta kelembutan, serasa perasaannya lebih terdukung. Ia merasa memiliki arti dan dihargai. Ia merasa dimengerti dan dicintai. Ia merasa benar-benar disayangi.

Namun apabila suami berlaku keras dan kasar saat isteri menangis, justru akan memperpanjang tangis sang isteri. Dipastikan suami akan gagal menangkap pesan nonverbal yang disampaikan lewat tangis sang isteri, jika ia melakukan tindakan kekerasan dengan memaksa isteri menghentikan tangisnya. Sungguh sebuah tindakan bodoh memaksa isteri berhenti menangis dengan cara yang keras dan kasar, karena pasti tidak akan berhasil.

Para suami harus menyediakan kelapangan dada untuk menampung dan mendengarkan tangis sang isteri. Jangan disikapi dengan cuek, pura-pura tidak tahu, sengaja tidak mempedulikan, atau bahkan melakukan tindakan kekerasan untuk memaksa menghentikan tangis. Pahamilah bahwa air mata merupakan salah satu bahasa komunikasi, seperti bahasa komunikasi lainnya. Maka saat isteri menangis, pertanda ia tengah mengajak berkomunikasi, dan suami harus merespon komunikasi itu dengan bahasa yang tepat.

Kadang kala suami merasa jengkel karena ia telah sangat lelah dan jenuh menghadapi permasalahan di luar rumah. Ia telah sangat penat menghadapi persoalan di kantor tempatnya bekerja, dan ingin ada suasana rehat di rumah. Ia ingin istirahat dan ingin meringankan beban yang tengah dirasakan akibat persoalan di dunia pekerjaan. Namun di rumah ternyata menjumpai suasana yang tidak diharapkan. Sesampai di rumah ia menjumpai isterinya berlaku asing dan sangat sensitif. Menyambut kedatangan suami dari kerja bukan dengan senyum dan keramahan, justru dengan ledakan tangis.

Menghadapi situasi seperti itu, para suami harus bersikap dingin. Tidak boleh emosional. Para suami harus menyadari bahwa isteri dan anak-anak di rumah memiliki hak untuk mendapatkan dirinya dalam suasana yang segar, selalu fresh. Sebagaimana kantor tempatnya bekerja, ingin mendapatkan dirinya selalu dalam suasana segar dan penuh semangat. Tidak layak kesegaran dan semangatnya hanya diberikan untuk kantor, sementara pulang dengan sisa-sisa tenaga. Sisa-sisa kesegaran, sisa-sisa perasaan, sisa-sisa semangat saja yang dibawa pulang ke rumah.

Isteri selalu menjumpai suami dalam suasana kusut saat di rumah, padahal isteri juga sedang mengalami banyak masalah. Maka muncullah suasana sentimentil, dan meledaklah tangis isteri di saat suami sedang menghendaki ketenangan. Kondisi ini harus disikapi dengan tenang dan proporsional. Para suami hendaknya membaca bahwa tangis sang isteri merupakan bahsa komunikasi. Ada pesan yang hendak disampaikan lewat tangis itu. Kendati sedang dalam suasana lelah dan jenuh, para suami harus bersikap dingin hati dan sejuk pikiran. Hadapilah dengan sepenuh jiwa, bahwa itulah realitas kehidupan yang senyatanya.

Kita tidak sedang hidup di dunia sinetron atau sinema. Kita hidup di alam yang senyatanya. Maka berbagai peristiwa kehidupan harus disikapi dengan bijaksana. Hadapi tangis isteri dengan bahasa perasaan. Tampunglah tangisnya, kendati anda juga sedang dalam kondisi jenuh dan penat menghadapi problematika dunia kerja di luar rumah. Dengan cara itu, anda berdua telah merajut bahasa komunikasi lewat hati. Suami tidak perlu kaget dan risau dengan tangis isteri, dan isteri tidak perlu kecewa karena tangisnya tidak ditanggapi.

Semakin lama usia pernikahan anda, harus semakin pandai memahami setiap simbol dan bahasa yang digunakan pasangan dalam menyampaikan pesan. Menangis adalah salah satu simbol dan juga bahasa, yang sering digunakan para isteri untuk berkomunikasi. Jangan lagi disalahpahami para suami.

Menjadi Anak Yang Baik

Oleh : bapak Cahyadi Takariawan

Anak-anakku, sesungguhnya jalan hidup ini adalah pilihan, dan engkau harus memilihnya. Ada teramat sangat banyak cara menjalani hidup, dan engkau bisa menyaksikannya dengan mudah dalam kehidupan sehari-hari. Cobalah perhatikan orang-orang di sekitarmu, adakah mereka sama semua ? Tidak, engkau melihat mereka berbeda-beda. Tidak sama. Cara mereka berpakaian, cara mereka berbicara, cara mereka mendapatkan harta, cara mereka mendapatkan kedudukan, ternyata memang berbeda-beda.

Semua orang tua pasti mengkhawatirkan anak-anaknya di zaman sekarang ini. Apa yang mereka khawatirkan ? Perkembangan ilmu pengetahuan dan tekonologi telah membuat semua menjadi mungkin dilakukan. Untuk menjadi baik atau untuk menjadi jahat, lebih mudah direalisasikan karena bantuan teknologi. Inilah yang dikhawatirkan semua orang tua. Mereka khawatir anak-anaknya terbawa ke dalam kerusakan moral. Mereka khawatir anak-anak akan menjadi jahat dan tidak mengenal kebaikan. Semua orang tua menghendaki agar anak-anak mereka menjadi anak baik.

Jangankan orang tua yang salih, sedangkan orang tua yang tidak salih sekalipun ingin agar anak-anaknya menjadi salih, menjadi baik, tidak seperti orang tuanya. Ini adalah fitrah manusia, yang telah diciptakan Allah dalam kondisi kebaikan. Seburuk apapun orang tua, pasti menghendaki agar anaknya menjadi baik. “Biarlah orang tuanya saja yang rusak dan jahat, yang penting semua anak-anak berada dalam kebaikan”, demikian keinginan mereka. Tidak ada orang tua yang bercita-cita menjadikan anaknya menjadi jahat dan rusak moralnya.

Anak-anakku, untuk menjadi anak yang baik tidaklah sulit sebagaimana dibayangkan banyak orang atau banyak teman-temanmu. Mereka suka mengatakan betapa sulit menjadi anak baik, karena terlalu banyak aturan. Ketahuilah anak-anakku, menjadi anak yang baik itu memerlukan sejumlah usaha, sebagaimana untuk menjadi anak yang jahat juga memerlukan sejumlah usaha. Sama-sama mengeluarkan energi untuk membentuk diri, mengapa harus memilih menjadi jahat ? Mengapa tidak memilih menjadi anak yang baik ?

Aku akan mengajakmu mengenal cara bagaimana menjadi anak yang baik, sehingga engkau akan mengenal pula usaha yang harus dilakukan untuk mewujudkannya.

Pertama, kenali Tuhanmu
Anak-anakku, kita semua sebagai makhluk harus mengenal siapa Yang Menciptakan kita. Engkau harus mengenal Tuhanmu, Tuhan yang memberimu rizki, yang memberimu kehidupan, yang memberimu pengetahuan, yang meberimu berbagai kenikmatan. Engkau harus mengenal Tuhanmu yang sangat baik kepadamu. Telah memberikan bentuk tubuh yang elok, telah memberikan kemampuan yang terus berkembang, telah memberikan ilmu yang membuatmu mengerti banyak hal tentang dunia.

Anak-anakku, jika engkau perhatikan makhluk hidup di sekitarmu, siapakah yang memberi rizki kepada mereka ? Lihatlah semut, mereka bisa bertahan hidup, tanpa kita memberikan makanan sedikitpun. Mereka bisa beranak-pinak dalam jumlah yang banyak, tanpa pernah merasa khawatir akan rizki anak-anaknya. Ikan-ikan di sungai yang berenang dengan bebas, adakah kita membiayai hidup mereka? Ikan-ikan itu mampu mempertahankan keturunannya dan tidak kesulitan dalam mendapatkan penghidupan.

Burung-burung yang terbang tinggi di angkasa, kitakah yang memberinya makan setiap hari ? Berapa banyak jenis burung yang sama-sama mencari makan, namun toh mereka tak pernah kelaparan. Unggas-unggas yang mengepak-ngepakkan sayapnya dengan riang sepanjang hari, siapakah yang telah memberi makan kepada mereka ? Bisakah engkau menghitung jumlah unggas di muka bumi ini, nyatanya mereka mampu hidup mandiri.

Dan berapa banyak jenis makhluk hidup di muka bumi ini, tanpa pernah bisa kita menghitung jumlah mereka, siapa yang menjamin hidup mereka sehari-hari ? Engkaukah, akukah, atau siapa¬kah Sang Maha Pemberi Rizki itu ? Siapakah Sang Pemberi Kehidupan itu ? Pasti bukan engkau, bukan pula aku.

Wahai anak-anakku, siapakah yang menumbuhkan batang-batang padi di sawah, hingga ia berbulir dan menguning, merunduk, dan siap dipetik ? Siapa pula yang menurunkan air dari langit, agar bumi menjadi segar, dan tetanaman bisa tumbuh subur di atasnya ? Siapa pula yang menegakkan batang pepohonan, membesarkan pokok, batang dan tangkainya, lalu menjadi gelondong-gelondong kayu yang siap dijadikan bahan kebutuhan manusia ?

Siapakah yang menanam pasir-pasir besi, hingga manusia bisa mengambil dan mengolahnya untuk teknologi ? Siapakah yang memancarkan tambang-tambang minyak di tetanah tandus nan gersang, lalu berebutlah manusia menguasai ladang-ladang minyak itu untuk kemapanan ekonomi mereka ? Wahai, siapa¬kah yang menabur benih-benih emas murni di bumi yang luas, hingga terciptalah kilau cahaya kekuningan ? Siapakah yang menerbitkan matahari, agar sinarnya menjadi energi yang menghidupi makhluk bumi ….

Tidakkah engkau belajar dari alam, lalu tersungkur, ruku’ dan sujud di haribaan Yang Maha Perkasa, karena kagum akan keluarbiasaan kemurahan dan curahan kasihNya ? Siapakah Dia, anakku ? Ya, Dialah Allah, Tuhan Yang Maha Sempurna. Tuhan yang telah sangat baik kepada kita, maka wajib bagi kita mengikuti aturanNya. Tuhan yang sangat pemurah kepada kita, maka wajib bagi kita untuk menyembahNya. Tuhan yang sangat kasih kepada kita, maka wajib bagi kita untuk mencintaiNya di atas segalanya.

Kedua, kenali jalan Kenabian
Anak-anakku, Tuhan telah mengutus para Nabi untuk membimbing hidup manusia. Sesungguhnyalah manusia akan berada dalam kesesatan apabila tidak ada Nabi yang membimbing mereka menuju cahaya. Para Nabi telah menuntun kita kepada sebuah jalan kehidupan yang akan membawa kita menuju kebaikan dan kebahagiaan yang hakiki di dunia maupun di akhirat kelak. Itulah yang aku sebut sebagai jalan Kenabian, jalan lurus yang digariskan Sang Nabi untuk kita ikuti.

Banyak sekali manusia memilih jalan sendiri dalam kehidupannya. Ketahuilah, jalan-jalan yang ditempuh itu tidak menjamin manusia mendapatkan kebahagiaan dunia maupun akhirat, kecuali apabila jalan itu sesuai dengan yang telah dituntunkan Sang Nabi. Banyak manusia yang tersesat dalam kehidupan, mereka mendapatkan kesuksesan material, mereka mendapatkan kedudukan tinggi, harta melimpah dan jabatan yang strategis. Namun ternyata tidak membawa mereka menuju kebahagiaan. Lihatlah betapa banyak orang yang hidup merana, tersiksa dan tidak bahagia padahal bergelimang harta dunia.

Jalan Kenabian membawa kita menuju kehidupan yang seimbang, sedangkan jalan lainnya selalu cenderung terjebak dalam sisi keduniaan, sisi kebendaan, sisi materi dan mengabaikan sisi spiritual, mengabaikan sisi akhirat. Hidup kita harus seimbang, anak-anakku, karena itulah yang akan menghantarkan kita menuju kebaikan yang hakiki. Seimbang antara urusan dunia dan akhirat, seimbang antara segi ruhani dan jasmani, seimbang antara spiritual dan material, seimbang antara usaha dan doa. Begitulah jalan yang diajarkan Sang Nabi. Jalan keseimbangan yang akan membawa manusia menuju kebaikan dan kebahagiaan.

Anak-anakku, engkau melihat betapa banyak orang yang rusak badan, pikiran dan hatinya, karena mereka mengeksplorasi kesenangan sesaat. Semua ingin mereka rasakan, semua ingin mereka nikmati tanpa peduli aturan Sang Nabi. Mereka hancurkan tubuh dan pikiran dengan berbagai hal yang memabukkan dan merusakkan. Mereka hancurkan masa depan bangsa dan negeri ini dengan kelakuan bejat setiap hari. Internet hanya menjadi sarana kemaksiatan bagi mereka. Komputer hanya menjadi sarana kejahatan bagi mereka. Harapan apa yang bisa dititipkan kepada mereka yang tidak mengenal jalan Kenabian ? Tidak ada.

Ketiga, hormati orang tuamu
Anak-anakku, kedua orang tuamu telah menjadi lantaran keberadaanmu di dunia ini. Ibumu telah mengandung dan melahirkanmu dengan susah payah, penuh perjuangan yang sangat hebat. Kedua orang tuamu telah merawatmu dengan penuh kasih sayang. Siang dan malam mereka menjagamu saat engkau masih bayi, terkadang ayah dan ibumu harus begadang semalaman karena engkau sakit. Itu mereka lakukan dengan penuh perasaan cinta dan tanggung jawab.

Sekarang setelah engkau semakin besar dan terus tumbuh berkembang, kedua orang tuamu berusaha mendidik dengan baik, serta mencarikan sekolah yang berkualitas untuk masa depanmu. Lihatlah ayah dan ibumu bekerja keras mencari penghidupan demi membahagiakanmu. Mereka tidak tega melihat engkau berjalan kaki tanpa alas kaki, maka mereka membelikanmu sepatu. Mereka tidak tega melihatmu menempuh jarak yang jauh untuk sekolah, maka mereka membelikan sepeda untukmu, atau memberikan uang agar engkau naik angkutan umum. Padahal engkau melihat uang mereka sebenarnya terbatas, bahkan kadang mereka juga mengalami kesulitan keuangan.

Kedua orang tuamu mungkin saja menjengkelkanmu karena aturan-aturan yang engkau rasakan terlalu mengurangi kebebasanmu. Namun sesungguhnya yang mereka lakukan adalah untuk kebaikanmu. Mereka sangat ingin menjagamu, sehingga terkadang keinginan seperti itu membuat mereka berlebihan dalam memberikan aturan untukmu. Jika engkau merasa tidak nyaman dengan beberapa aturan yang diberikan, hendaklah engkau bicarakan baik-baik dengan mereka berdua. Tanyakan apakah ada cara lain yang lebih melegakan bagimu dan bagi kedua orang tuamu, sehingga semua merasa nyaman dan tidak saling tertekan.

Engkau tidak boleh memberontak dan melawan orang tuamu, karena sesungguhnya semua bisa dibicarakan baik-baik bersama mereka. Percayalah, mereka sangat mencintaimu dan tidak ingin mengecewakanmu. Salurkan ketidaksukaanmu atas beberapa sikap dan aturan yang mereka berikan, dengan jalan pembicaraan yang santun dan penuh hormat. Orang tuamu pasti akan mendengarkan pendapatmu jika memang pendapatmu itu masuk akal dan tidak membahayakan kebaikan dirimu dan keluargamu.

Keempat, belajarlah dengan tekun
Anak-anakku, masa muda adalah masa-masa emas dalam pembelajaran. Maka tekunlah belajar menuntut ilmu. Manfaatkan waktu dan kesempatan untuk mendalami banyak ilmu pengetahuan, karena kelak itu semua akan engkau perlukan dalam menjalani kehidupan. Jangan sia-siakan waktu emasmu ini dengan kegiatan yang tidak bermanfaat bagi kebaikanmu dan bagi masa depanmu. Gunakan waktu sebanyak mungkin untuk belajar dan mencerap berbagai macam ilmu, baik di rumah, di sekolah maupun dalam lingkungan sekitarmu.

Saat engkau sekolah, ikutilah program pendidikan di sekolah dengan baik. Manfaatkan berbagai fasilitas yang ada di sekolah untuk mengasah kepandaianmu, untuk melatih ketrampilanmu, untuk menumbuhkan kemandirianmu. Sangat banyak fasilitas sekolah yang sering disia-siakan para pelajar, seperti perpustakaan dan sarana-sarana kegiatan lainnya. Banyaklah bertanya kepada guru dan seringlah berdiskusi dengan teman-temanmu, itu semua akan menambah wawasan dan ketrampilan sosialmu. Ikuti pula kegiatan organisasi untuk mengasah kemampuan manajerial dan bakat kepemimpinanmu.

Sesungguhnya sangat banyak ilmu yang bisa engkau dapatkan selama masa pembelajaran. Itu semua akan engkau rasakan manfaatnya kelak ketika sudah dewasa. Sekolah bukan hanya untuk mendapatkan ijazah, namun untuk mendapatkan kematangan jiwa, pemikiran, perasaan dan berbagai ketrampilan. Sekolah akan mencetakmu menjadi manusia pembelajar yang akan engkau teruskan setelah selesai masa pendidikan kelak. Jiwa pembelajar ini sangat penting bagimu, karena engkau akan sering berada dalam suasana baru di dalam mengarungi kehidupan yang sesungguhnya kelak.

Kelima, berteman untuk memperkuat kebaikan
Anak-anakku, sesungguhnya semua dari kita memerlukan teman. Kita adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendirian. Kita selalu saling memerlukan satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, engkau harus bisa bergaul dan memilih teman yang tepat untuk memperkuat kebaikanmu. Sangat banyak jenis teman, dan engkau bisa bergaul dengan semua dari mereka sesuai tingkat keperluan yang engkau inginkan. Namun batasannya jelas, bahwa pertemananmu harus memperkuat kebaikanmu, syukur bisa memperkuat kebaikan teman-temanmu pula.

Semua orang akan terpengaruh oleh lingkungan di sekitarnya, maka engkau akan selalu berada dalam suasana pengaruh-mempengaruhi satu dengan lainnya. Mungkin pengaruhmu lebih kuat sehingga teman-temanmu terwarnai olehmu, mungkin pula pengaruh temanmu lebih kuat sehingga engkau terwarnai oleh kepribadiannya. Itulah sebabnya, engkau harus pandai membatasi tingkat pertemanan pada pengaruh yang saling menguatkan dalam kebaikan. Jika engkau merasa terpengaruh dalam keburukan, cepat tinggalkan pertemanan seperti itu karena sangat merugikanmu.

Namun bagaimanapun kondisi teman-temanmu, engkau harus bisa menjaga hubungan baik dengan mereka. Mereka kelak akan menjadi orang-orang yang berpengaruh atau orang-orang sukses dalam dunia masing-masing, dan engkau masih memiliki tali pertemanan dengan mereka. Dengan pertemanan itu, suatu saat engkau akan bisa menitipkan nilai-nilai kebaikan pada dunia mereka masing-masing, sehingga pengaruh kebaikanmu akan tetap bisa terjaga.

Keenam, lakukan kegiatan yang bermanfaat
Selain di sekolah dan di rumah, ada banyak alternatif kegiatan yang bermanfaat bagimu. Ikutilah kegiatan yang memberikan kemanfaatan, agar waktumu efektif teralokasikan untuk kebaikan. Jangan biarkan ada waktumu yang terbuang percuma, terhanguskan dengan sia-sia. Banyak anak-anak remaja seusiamu yang menghabiskan waktu berhari-hari di depan play station, atau main game online tanpa mengenal batas waktu. Mereka telah membakar waktu untuk hal-hal yang kurang memberi kemanfaatan untuk kebaikan.

Di rumah, engkau bisa membiasakan diri untuk olah raga rutin, engkau bisa mengambil suatu peran untuk membantu orang tuamu mengerjakan urusan kerumahtanggaannya. Cobalah engkau mencuci pakaian kotormu sendiri, dan menyeterikanya sendiri. Cobalah engkau bersihkan kamar tidurmu sendiri, engkau rapikan meja belajar dan peralatan sekolahmu sendiri. Cobalah engkau bersihkan sendiri piring dan gelas yang telah engkau pakai. Cobalah engkau belajar memasak untuk keperluanmu dan saudara-saudaramu. Itu semua menjadi kegiatan yang bermanfaat bagimu.

Anak-anakku. di lingkungan sekitar rumahmu, tentu ada kegiatan sosial kemasyarakatan untuk anak-anak seusiamu. Engkau harus mengikuti kegiatan positif yang ada di lingkunganmu agar engkau tidak buta lingkungan. Tetanggamu adalah orang-orang yang pertama kali memberikan bantuan kepadamu jika terjadi sesuatu di rumahmu. Maka engkau harus mengenal tetanggamu dan berkegiatan bersama mereka. Jangan engkau menjadi anak-anak muda yang terasing dari lingkungan, dan tidak mengenal kondisi sekitar.

Ketujuh, memiliki komunitas penjaga kebaikan
Anak-anakku, sesungguhnya jiwa manusia itu cepat sekali berubah dan mudah terpengaruh. Maka engkau harus memiliki komunitas untuk menjaga kebaikanmu. Engkau harus berada dalam suatu komunitas yang berkonsentrasi untuk membentuk kepribadianmu. Komunitas ini terdiri dari orang-orang baik, yang selalu berorientasi kebaikan, mengerti jalan Kenabian, dan saling menjaga untuk menguatkan kepribadian satu dengan lainnya.

Sang Nabi telah berpesan agar kita berada dalam jama’ah atau komunitas kebaikan. Karena jika kita sendirian tanpa memiliki komunitas ini, akan mudah sekali terjebak dalam penyimpangan atau keburukan. Jika engkau sendirian, engkau tidak memiliki rekan untuk mengingatkan dan menjaga, tidak memiliki komunitas untuk menasihatidan meluruskan, tidak memiliki sahabat untuk memberikan pertimbangan. Padahal engkau sangat memerlukan semua itu. Maka milikilah komunitas yang bisa menjagamu dalam kebaikan, dimanapun engkau berada.

Sesungguhnyalah semua dari kita lemah dan memiliki banyak keterbatasan. Dengan berada dalam komunitas kebaikan, akan membuat suasana saling menguatkan dan saling melengkapi kekurangan. Komunitas itu pula, selain kepada ayah dan ibumu, yang menjadi tempat kembalimu saat engkau mengalami persoalan yang memerlukan bantuan pemecahan. Komunitas itu telah menjadi ikatan persaudaraan yang kokoh, yang menyebabkan engkau berada dalam suasana keterjagaan senantiasa.

Jika engkau lakukan tujuh hal di atas, insyaallah engkau akan menjadi anak baik. Anak yang akan menjadi penyejuk hati kedua orang tua. Anak yang berbakti kepada ayah dan ibu, disenangi teman, bermanfaat bagi lingkungan sekitar. Engkau akan menjadi harapan bagi kebaikan bangsa dan negaramu. Engkau menjadi tumpuan kejayaan masa depan peradaban, karena engkau telah menjadi anak yang baik.

Tidak sulit bukan, menjadi anak yang baik ? Yang diperlukan hanyalah kemauan untuk berusaha membentuk dirti menjadi anak baik. Semoga engkau semua menjadi anak-anak yang baik. Amin.